Kepala Desa Ditandu Warga 6 Jam Menuju Puskesmas di Way Haru

Kepala Desa Ditandu Warga 6 Jam Menuju Puskesmas di Way Haru
Warga Tandu Kepala Desa Menuju Puskesmas/ Foto Istimewa

LAMPUNGKU.ID, PESISIR BARAT Di tengah sorotan pembangunan yang megah di berbagai daerah, sebuah video mengejutkan warganet, menggambarkan perjuangan luar biasa warga Way Haru, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Dalam rekaman tersebut, puluhan penduduk terlihat saling bahu-membahu menandu Kepala Desa Pekon Bandar Dalam, Rudi Meilano, yang terpaksa dirawat secara intensif akibat sakit yang mengguncangnya.

Perjalanan penuh tantangan ini ditempuh selama enam jam melewati jalan berlumpur, menyeberangi sungai, dan menyusuri garis pantai yang berisiko tersapu ombak besar, hanya untuk mencapai Puskesmas terdekat. Tak hanya menguras tenaga, nyawa pun dipertaruhkan dalam perjalanan sepanjang 15 kilometer yang sarat dengan penderitaan.

Ironisnya, Way Haru tidak sendirian dalam kesulitan ini. Tiga desa lainnya, yakni Way Tias, Bandar Dalam, dan Siring Gading, juga mengalami keterisolasian. Meski dihuni oleh puluhan ribu jiwa, mereka belum sepenuhnya bebas dari belenggu keterbelakangan setelah lebih dari tujuh dekade merdeka.

Keberadaan jalan yang memadai seharusnya menjadi harapan bagi warga. Namun, pembangunan terhambat oleh status kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang menimbulkan kerumitan dalam pengajuan izin. Janji-janji pemerintah daerah untuk memperbaiki situasi kerap kali hanya tinggal janji, tanpa ada aksi nyata.

Kisah Rudi Meilano bukanlah peristiwa pertama di wilayah ini; warga Way Haru telah berulang kali mempertaruhkan segalanya untuk mengantar mereka yang sakit. Di tengah semua itu, perhatian pemerintah baik provinsi maupun pusat tampak minim, hanya serangkaian kata-kata kosong yang tak diiringi dengan tindakan konkret.

Saat pemerintah sibuk merayakan kemajuan infrastruktur dan digitalisasi, ada warga Indonesia yang masih terpaksa menempuh perjalanan berat berjam-jam demi mendapatkan layanan kesehatan yang seharusnya mereka nikmati. Gambar lesunya harapan ini hanyalah secuil potret dari suatu realitas pahit yang masih dihadapi oleh masyarakat yang terpinggirkan.(*)