Empat Pilar Jawa, Mengungkap Perbedaan Hamengku Buwono, Paku Alam, Paku Buwono, dan Mangkunegara dalam Pusaran Sejarah
LAMPUNGKU.ID, LAMPUNG TIMUR Di jantung Pulau Jawa, empat nama besar terus berkumandang: Hamengku Buwono, Paku Alam, Paku Buwono, dan Mangkunegara. Keempatnya adalah pewaris tahta dari Kesultanan Mataram Islam yang dulu berkuasa, kini menjelma menjadi simbol hidup warisan kerajaan yang lestari hingga era modern.
Namun, tahukah Anda apa yang membedakan keempat entitas ini? Dari gelar hingga peran dalam sejarah Jawa, mari kita telusuri lebih dalam.
Dari Mataram Runtuh, Empat Entitas Bangkit
Sejarah mencatat, Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan akibat konflik internal dan campur tangan kolonial.
Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 menjadi titik balik, membagi kerajaan menjadi dua: Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Hamengku Buwono, dan Kasunanan Surakarta di bawah Paku Buwono.
Beberapa dekade kemudian, lahir dua kadipaten otonom: Pakualaman dan Mangkunegaran. Masing-masing memiliki kisah, struktur kekuasaan, serta simbol kebangsawanan yang unik.
Hamengku Buwono: Sang Sultan Yogyakarta
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat lahir dari Perjanjian Giyanti. Pangeran Mangkubumi, setelah perjanjian itu, diangkat menjadi raja dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I.
Ia pun membangun ibu kota dan keraton baru sebagai pusat pemerintahan.
"Yogyakarta berasal dari 'Yodyakarta', harapan akan negeri yang makmur dan tenteram," jelas seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta.
Gelar Hamengku Buwono pun diwariskan kepada para sultan Jogja berikutnya, menjadi simbol kepemimpinan dan kesinambungan tradisi Mataram.
Paku Alam: Adipati yang Mengayomi
Lahirnya Kadipaten Pakualaman tak lepas dari pergolakan politik di awal abad ke-19. Pangeran Notokusumo, atas jasanya dalam membantu Inggris, diangkat menjadi Adipati Paku Alam I pada tahun 1812.
Kadipaten ini memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas wilayah Yogyakarta.
Gelar Paku Alam pun menjadi simbol pengayoman dan perlindungan bagi rakyat.
Paku Buwono: Pewaris Tahta Surakarta
Kasunanan Surakarta Hadiningrat berdiri pada tahun 1745. Raden Mas Prabasuyasa mendirikan Kasunanan Surakarta sebagai penerus Kartasura.
Melalui Perjanjian Giyanti tahun 1755, wilayah Mataram dibagi dua, yaitu Surakarta (Solo) dan Yogyakarta (Jogja).
Sebagai pewaris tahta Mataram di Surakarta, Paku Buwono memiliki tanggung jawab besar dalam melestarikan adat dan budaya Jawa. Gelar ini menjadi lambang keagungan dan keluhuran tradisi.
Mangkunegara: Prajurit dan Seniman
Praja Mangkunegaran lahir dari semangat Raden Mas Said, seorang pangeran yang gigih memperjuangkan haknya. Pada tahun 1797, ia diangkat menjadi Mangkunegara I.
Mangkunegaran dikenal dengan tradisi militernya yang kuat, serta kontribusinya dalam seni dan budaya Jawa.
Gelar Mangkunegara pun menjadi simbol keberanian, kepemimpinan, dan kecintaan pada seni.
Keempat entitas ini, meski berbeda dalam sejarah dan peran, memiliki satu kesamaan: menjaga warisan budaya dan politik Mataram.
Mereka adalah pilar-pilar Jawa yang terus berdiri kokoh, menjadi saksi bisu perjalanan panjang sejarah bangsa.(*)



